Jumat, 12 Desember 2008

Hygiene Sanitasi Pengolahan Makanan

BAB I
PENGANTAR

A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan semakin mendapat perhatian luas di seluruh dunia, telah terjadi perubahan pola pandang yang semula melihat kesehatan sebagai suatu yang konsumtif menjadi sesuatu yang bersifat global. Di Indonesia telah dicanangkan pola pembangunan berwawasan kesehatan atau yang lebih dikenal dengan Paradigma Sehat (Depkes RI, 2000).
Tujuan program perbaikan gizi masyarakat sebagaimana sebagaimana tercantum dalam Undang – undang No.25 Tahun 2000, tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2000-2004 adalah untuk meningkatkan intelektualitas dan produktifitas sumber daya manusia. Salah satu kegiatan pokok yang tercakup dalam program ini adalah melaksanakan perbaikan gizi di Institusi (Depkes RI,2001).
Makanan seperti halnya gas oksigen, adalah sesuatu yang dibutuhkan bagi kehidupan. Tubuh manusia membutuhkan makanan untuk digunakan sebagai sumber enrgi, pertumbuhan dan sebagai sumber pengganti jaringan yang telah rusak.
Keamanan makanan merupakan kebutuhan masyarakat, karena makanan yang aman akan melindungi dan mencegah terjadinya penyakit atau gangguan kesehatan lainnya. Keamanan makanan saat ini terjadi isu utama bagi upaya membangun citra rumah makan/restoran. Oleh karena itu harus diperhatikan agar tidak menimbulkan keracunan dan penyakit bawaan makanan.
Berbagai keterbatasan dalam penyelenggaraan makanan sering mengakibatkan kelemahan yang tidak saja merugikan konsumen tetapi juga penyelenggara. Kelemahannya antara lain sebagai berikut, a) Kualitas bahan makanan yang digunakan sering tidak baik karena keterbatasan dana; b) Cita rasa makanan kurang diperhatikan karena tidak ada resiko untung atau rugi ; c) Makanan kurang bervariasi menyebabkan konsumen tidak berselera memakannya sehingga terdapat sisa makanan dalam jumlah cukup banyak ; d) Porsi makanan tidak sesuai kebutuhannya (Mohyl,1992).
Menurut Bryan (1990), di Amerika Serikat penyakit yang diakibatkan oleh makanan yang terkontaminasi oleh mikroorganisme pathogen, sebanyak 77% makanan yang dipersiapkan oleh usaha jasa boga, sebesar 20% kasus diakibatkan oleh makanan yang dimasak dirumah dan hanya 3% kasus yang disebabkan oleh makanan yang diproduksi oleh industri rumah tanggaa. Hal ini senada diungkapkan oleh Gravani (1997) yaitu 6 sampai 33 jiwa pertahun masyarakat menderita Food borned diseases.
Hasil penelitian Robert dalam Tierniy et all (2002) menyebutkan, dari 1000 outbreak keracunan makanan, sebagian besar kasus terjadi pada makanan yang dimasak di rumah tangga yaitu sebesar 19,7%, direstoran sebesar 17,1% serta yang terjadi pada saat acara pesta makan yaitu sebesar 12,2% (WHO,2000).
Data tersebut menggambarkan bahwa di Negara – Negara majupun makanan dari usaha jasa boga seperti catering dan rumah makan masing masing memegang peranan penting sebagai penyebab terjadinya penyakit akibat makanan ( Food Borne Diseasses ). Upaya – upaya yang harus dilakukan untuk upaya penyehatan makanan supaya tidak menjadi penyebab gangguan kesehatan terhadap konsumen, yaitu dengan pengawasan proses produksi makanan mulai dari penerimaan bahan baku sampai dengan makanan siap didistribusikan, dijual, atau dikonsumsi.
Upaya pengamanan dan penyehatan makanan tersebut menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor : 304/MENKES/PER/IV/1989, tentang persyaratan kesehatan rumah makan dan restoran sebagai penyelenggara usaha jasa pangan mempunyai kewajiban memproduksi makanan secara baik, sehingga makanan yang dihasilkan memenuhi syarat kesehatan.
Namun upaya – upaya pengamanan yang dilakukan oleh pengusaha rumah makan belum dilakukan secara optimal. Masih banyak pemilik rumah makan belum memahami secara benar kegiatan sanitasi makanan. Keadaan tersebut sangat berpengaruh terhadap kualitas mikrobiologis produk makanan yang dihasilkan.
Hasil penelitian kualitas mikrobiologis makanan pada usaha jasa boga catering di Jogyakarta menunjukan bahwa produk makanan dari daging dan unggas (Meat And Poultry) telah terkontaminasi bakteri Staphylococcus aereus antara <102 – 6,3x103 CFU/gram pada produk ayam goring, ayam panggang, sate ayam, rendang serta opor ayam, dan positif bakteri Salmonella pada makanan basah seperti rendang dan opor ayam (Harmayani et all, 1995).
Hasil penelitian makanan dibeberapa jasa boga diatas menunjukan bahwa keadaan kualitas mikrobiologis makanan masih sangat memprihatinkan, apalagi Yogykarta dikenal sebagai salah satu daerah tujuan wisatawan baik asing maupun domestic. Sehingga dibutuhkan restoran dan rumah makan yang bersih dari segi fisik bangunan dan yang terlebih penting lagi mengenai kualitas makanannya.
Berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan tempat pengolahan makanan Dinkes Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara Januari - Juli tahun 2007, pada 23 rumah makan yang diperiksa terdapat 4 rumah makan yang tidak memenuhi syarat kesehatan . Pemeriksaan ini baru sebatas pemeriksaan kasat mata. Mengingat jarak antara Balai Pom Kendari dan Dinkes Kabupaten Konawe ini jaraknya sangat jauh. Dan mengenai kualitas mikrobiologis makanan di rumah makan didaerah ini masih dipertanyakan. Dan juga daerah ini merupakan tempat transit Bus – Bus malam dari Makasar Sulawesi Selatan menuju Kendari Sulawesi Tenggara. Sehingga banyak penumpang bus yang memanfaatkan rumah – rumah makan setempat untuk dijadikan tempat makan.
Menurut WHO (1996), tidak baiknya praktik hygiene dan sanitasi makanan pada beberapa usaha jasa boga di negara – negara berkembang termasuk Indonesia antara lain : 1) kurangnya penyuluhan dan pelatihan secara periodic bagi penjamah makanan; 2) registrasi dan inspeksi sanitasi tidak dijalankan secara rutin ; dan 3) peraturan yang mengatur usaha dibidang jasa boga tidak disosialisasikan dan diterapkan dengan benar.
Pemeriksaan kesehatan rutin dua kali setiap terhadap penjamah makanan seperti diamanatkan dalam Permenkes nomor : 304/MENKES/PER/IV/1989, tentang persyaratan kesehatan rumah makan dan restoran, tidak pernah dilaksanakan.